Minggu, 27 Juli 2008

MIMPI Pemimpin.....

REFLEKSI PILKADA JOMBANG 2008

Pilkada Jombang sudah usai. Tepatnya 23 Juli 2008 lalu, dan sudah dipastikan masih Bupati lamalah yang akan memimpin Jombang untuk 5 tahun kedepan… yah sebuah kisah nyata proses politik yang mungkin tidak hanya terjadi di Kabupaten Jombang, namun juga di Kabupaten lain…saya kemudian tersenyum sejenak, sembari mengingat-ingat waktu menyaksikan pementasan drama yang di gelar “Pendowo Sodron” beberapa waktu yang lalu. Cerita tentang pertarungan kursi kepemimpinan kepala perguruan “Pendowo sodron” menjadi tema pementasan waktu itu.

Inti ceritannya berawal dari 2 orang yang mencalonkan diri untuk jadi pemimpin. Somer dan Mbah Ngin. Mulailah 2 orang calon ini membentuk Tim Sukses…semua tokoh dirangkul, tak peduli tua hingga muda, sesekali pula terjadi baku hantam diantara 2 kubu ini. Tak terlewatkan kampanye dengan janji-janji di sebar kemana-mana. I’tikad baik untuk warga selalu didengungkan. Kebutuhan Petani, Kebutuhan Pengusaha, Nasib pendidik, tokoh agama tak luput dari materi kampanye yang disampaikan. Intinya semua akan menjadi prioritas program kebijakan…

Memakai istilah Pilkadoro (Pemilihan Kepala pendowo sodron) pemilihanpun digelar. dari 2 calon yang ada Somer-lah yang akhirnya memenangkan pemiihan ini. Tapi sayang, difihak Mbah Ngin tidak menerima kemenangannya. kedua kubu saling serang, saling maki, pendukung Mbah Ngin dan Pendukung Somer sama-sama menjaga jarak untuk membangun “PENDOWO SODRON).

Kekacauan Pendowo SODRON tidak hanya sampai disitu, Setelah menjabat, Somer-pun ingkar akan kampanye-kampayenya terdahulu. Ia tidak bisa melakukan amanatnya, banyak warga yang menggugat dia karena Somer lebih suka mengurusi keluarganya saja dan membuat warga tidak terima. Somer akhirnya menjadi berubah , berubah teman, berubah kaya, bahkan perubahan prilaku dari jujur menjadi Pembohong…dramapun usai…

***

Ah…itu hanya cerita drama saja…saya ingat, “Perubahan harus dilakukan” tapi perubahan yang mana? Apakah lebih baik atau lebih buruk? Jangan-jangan cermin malah membuat semuanya terbalik? mungkin juga tidak begitu.

Pemilihan secara langsung saya kira bukan hal baru di masyarkat, mereka terbiasa dengan pilihan langsung Kepala Desa yang dari dulu sudah dilakukan.Dalam menentukan calon pemimpinpun cukup sederhana, calon lebih banyak dinilai adri sikap keseharian dan pola pikirnya. Maklum hampir setiap hari mereka saling berinteraksi. Sangsinyapun jelas, Kepala Desa yang tidak beres, niscaya akan tersingkir dan menjadi bahan gunjingan di komunitas.

Namun untuk Bupati apalagi Gubernur tidak....tidak semua orang akan mengetahui prilaku mereka secara langsung, untung-untung masih ada televise yang menyiarkan profil mereka. itupun dalam komposisi yang sangat singkat. Jika demikian wajar jika banyak warga yang hanya mencoblos begitu saja..tanpa berpikir bahwa 1 coblosan akan menentukan nasib mereka 5 tahun kedepan. Atau lebih jauh lagi, adanya fenomena GOLPUT yang semakin tinggi prosentasenya.

Ini berarti ada yang kurang pas di hati mereka (Rakyat). Kedekatan emosional, kedekatan untuk menyelesaikan masalah riil di tingkat bawah belum secara optimal dilakukan. Saya sama sekali tidak mengharap adanya penurunan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, Namun ini semua harus dijadikan bahan intrrospeksi dalam rangka menuju kesejahteraan yang benar-benar menyentuh di masyarakat. Namanya juga dipilih secara langsung…

Nah, apapun yang terjadi, kenyataan tentang perubahan politik lewat pilkada langsung sudah terlampaui. Hal ini berarti semakin jelas bahwa siapapun yang memimpin jika memang dirinya merasa didaulat untuk mensejahterakan rakyat, pilihan untuk mengutamakan rakyat harus menjadi prioritas utama. Mensejahterakan dalam artian tidak membuat warga bergantung, tapi menciptakan warga yang mandiri dan sejahtera. Semoga